Sabtu, 28 Desember 2013
Minggu, 10 Maret 2013
Resuman Fiksi
BAB
I
Fiksi Selayang Pandang.
Buku ini dimaksudkan untuk membantu
Anda mempelajari dan memahami fiksi serius. Tampaknya aneh mendengar pernyataan
bahwa setiap orang harus belajar membaca cerita. Yang jelas, seseorang
pengarang tidak dapat terlalu berharap pembaca karyanya adalah orang yang
terlatih secara khusus, bukankah seharusnya karya-karyanya dapat bercerita
sendiri? Seharusnya demikian; kenyataannya, fiksi serius dapat dinikmati oleh
barbagai generasi karena mampu bercerita.
Meski
cerita yang dituturkan oleh fiksi serius mengandung berbagai hal yang tidak
lazim (adu banteng) atau selaras dengan sejarah (pemberontak Irlandia), fiksi
jenis ini biasanya menyodorkan fakta-fakta dan isu-isu yang relevan pada
pembaca.
Alasan
termudah dan mungkin juga terbaik; buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada
mahasiswa. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk
pada pembaca mengenai maksud dan teknik yang digunakan pengarang. Secara
teoritis, sebagaimana yang dilakukan oleh orang, pembaca dapat menemukannya
sendiri.
Alasan
ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonpsesi
gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu yang
mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang diperoleh pembaca.
Meski
demikian, pembedaan ini digunakan malah akan menjerumuskan. Jika
termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat, dapat disimpulkan
bila fiksi luas tidak dinikmati secara luas sepertihalnya fiksi populer; contoh
paling mudah Huckleberry Finn yang
populer pada kisah humor dan satir, namun masih dikategorikan fiksi serius.
Bagian ini akan membahas dua jenis
tulisan tersebut yaitu fiksi populer dan serius. Sebagian pembahasan akan
membuktikan seberapa jauh gagasan-gagasan umum seperti dicontohkan di paragraf
atas memiliki kebenarannya. Gayut dengan sifat buku ini, pembahasan akan
difokuskan bagaimana memahami fiksi serius.
Fiksi Serius Dan Pembaca
Faktanya, fiksi serius dapat memberi kenikmatan dan memang
begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan sekaligus dibuktikan oleh
banyak orang. Mereka membaca fiksi serius bukan karena sebuah keharusan,
melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya.
Sebagian
besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya
dilakukan dengan cermat dan tepat. Kenikmatan dan pemahaman atas karya sastra
diserap sedikit demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang mampu sepenuhnya
memahami sebuah cerita bagus dengan membaca sekali saja.
Maksud
utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan membaca membayangkan
sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa
maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit, harus
diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah sekedar rangkaian kejadian-kejadian
yang sinambung.
Tema
Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau
nasehat-nasehat sebagai misal “Kejujuran adalah yang terbaik” atau “Bekerjalah
dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang
berupaya mendidik segi mooral pembaca.
Apa yang
menjadi persoalan bagi pembaca bukanlah keberadaan tema ataupun sifat-sifatnya
yang khusus. Permasalahan terletak pada kenyataan bahwa tema adalah implisit.
Pertanyaan yang kerap muncul, “Mengapa pengarang tidak mengungkapkan secara
langsung? Mengapa tema tidak dikatakan terus terang? Mengapa tema hampir selalu
tersembunyi?” Pengarang bukanlah jenis orang yang gemar bermain teka teki.
Sebaliknya dalam buku kenangan sekolah lain, akan diketahui
bahwasanya wajah-wajah yang Anda lihat sama sekali tidak memunculkan apa pun,
kosong, dan tanpa makna. Sebagian yang Anda lihat adalah wujud foto-foto itu
sendiri, sedangkan sebagian lain adalah makna dari foto tersebut yang masih
melekat pada ingatan.
Sarana-Sarana Sastra
Pengarang meleburkan fakta dan tema
dengan bantuan sarana-saran sastra ‘separti konflik, sudut pandang, simbolisme,
ironi, dan sebagainya. Dalam bagian selanjutnya akan diterangkan perihal
sarana-sarana tersebut. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai
semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita. Detail-detail
tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema.
Dapat
di[eringkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan
melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami
dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap
bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain.
Bila film
Barat merupakan film petualangan, mengapa harus ada ‘orang baik’ dan ‘orang
jahat’? Mengapa keduanya tidak mengambil wujud dua koboi jelata saja, tanpa
perlu mempertentangkan moralitas? Mengapa yang baik selalu menang? Jawabannya,
di dunia Barat ada hukum alam bahwa kebaikan selalu berlawanan dengan kejahatan
dan kebaikanlah yang selalu memenangkan konflik tersebut.
Simpulannya,
film Barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film
Barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Detail-detail yang dipilih
bermaksud menekankan moralitas yang kontransif; sang hero tidak pernah berbuat
jahat dan si penjahat sebaliknya.
BAB
II
Membaca Fiksi
Sebenarnya, mereduksi sastra dan
seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistirsi dan
menggampankan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat flesibel, subtil,
dan majemuk. Setiap karya yang berhasil merupakan satu individu unik kerena
sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa ‘menguraikan’ sebuah organisme
secara menyeluruh.
Intinya,
bagaimanapun gaya seorang pengarang fiksi serius, ia tidak akan menyia-nyiakan
materi dalam novel-novelnya. Setiap detail dalam sebuah cerita berpengaruh pada
keseluruhan seperti halnya setiap not pada komposisi musik Johann Sabastian
Bach dan setiap gestur pada tari balet Margot Fonteyn.
Fakta-Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan
fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian
imajinatif dari sebuah cerita. Jika direnungkan menjadi satu, semua elemen ini
dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual cerita’.
Oleh
karena detail-detail cerita mengendung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca
handaknya juga ambivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita,
membenamkan diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi
pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi
tersebut dan bertanya pada diri sendiri, mengapa pengarang memilih
detail-detail tertentu saja dan menyusunnya sedemikian rupa? Jika dua
pendekatan ini dilakukan dengan benar, pembaca akan tahu bahwa detail-detail
dalam cerita ‘masuk akal’ dan ‘signifikan’.
Alur
Secara umum, alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya
terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan
atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan
karena akan berpangaruh pada keseluruhan karya.
Subplot
atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian dari
alur utama, namun memiliki ciri khas tersendiri. Suatu subplot bisa memiliki
bentuk yang paralel dengan subplot lain. Salah satu bentuk subplot yang lazim
dikenal adalah ‘naratif bingkai’.
Alur
merupakan tulang punggung. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan
dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis.
Dua elemen
dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi
setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir
melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan
lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik
utama’ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya.
Latar
Latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu
tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau stu periode sejarah. Meski tidak
langsung merangkum sang karekter utama, latar dapat merangkum orang yang
menjadi dekor dalam cerita sebagai misal; masyarakat Puritan dalam The Scarlet Letter.
Tema
Tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia;
seauatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang
menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti
cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia
terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua.
Fungsi
tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari
pandangan. Yang jelas, istilah tema amat sulit didefinisikan. Tema dapat
diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‘maksud’ sebuah
gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjalaninya.
Sarana – Sarana Sastra
Sarana- sarana sastra dapat
diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar
tercapai pola-pola yang bermakna. Penggambaran berlebihan tidak akan banyak
bermanfaat sehingga pengarang lebih memilih menyatakan fakta apa adanya. Saran
– sarana sastra berbeda dengan sarana – saran doats karena pengarang dituntut
untuk memenuhi kriteria nalar. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang
pengarang biasanya berpatokan pada dua tedensi dasar manusia. Pertama, kenali
dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan
klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang mengaplikasikan pola-pola seperti ini, karya-karya nya akan
menjadi berstruktur. Tendensi kedua, pahami dan ingat setiap ‘asosiasi’
diantaea benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi
kita teribat ddidalamnya; terutama ketika emosi kita turut terlibat didslamnya;
seorang bicah akan merasa takut pada api bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat
ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone, dan gaya, dan
sudut pandang. Sarana-sarana paling siknifikan berbagai sarana yang kita kenal
adalah karater utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘
kesatuan organis’ cerita
Judul
Kita mengira bahwa judul selalu
relevan terhadap karya yang diampunnya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter
utama atau satu latar tertentu seperti dalam The Great Gatsby atau Wuthering Heights. Akan tetapi, penting bagi
kita untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang
tidak menonjol. Judul semacam ini acap ( terutama sekali dalam cerpen) menjadi
petunjuk makna cerita bersangkutan.
Sebuah
judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. The Undefeated Hemingway
bercerita tentang seorang matador tua. Disisi lain, dia terkalahkan (bahasa
inggris: de feated) karena gagal menjalani profesinya.
Sudut Pandang
Dalam Gulliver’s Travel, meski dapat berbagai pengalaman dengan gulliver,
kita tetap tahu bahwa ia adalah seorang yang gampang tertipu dan naif.
Pendeknya , ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda
dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau diluar satu karakter,
menyatu atau terpisah secara emosional.
Padat
sudut pandang orang pertama-bukan utama (sampingan), sang narator dapat
menggambarkan si karakter utama secara langsung sekaligus mengomentari
perilakunya. Pengarang dapat menciptakan
berbagai ketegangan dan kejutan dengan cara menyembunyikan pemikiran si tokoh
utama.
Sampai
disini dapat disimpulkan bahwa setiap sudut pandang memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pilihan yang diambil pengarang harus selalu bergantung pada problem
yang mengemuka dalam ceritanya. Sudut pandang yang dipilih terkadang merupakan
campuran dari beberapa sudut pandang.
Simbolisme
Gagasan dari emosi terkadang nampak
nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat
dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal
tersebut agar tampak nyata adalah melalui simbol; simbol berwujud detail-detail
konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi
dalam pikiran pembaca.
Pengarang juga
dapat menonjolkan satu detail dengan menggambarkannya secara berlebihan
ketimbang keperluan faktualnya; membuatnya tampak tidak bisa tanpa satu alasan
pun, menjadikannya judul, dan sebagainya.
Manfaat
simbol yang paling besar adalah memberi realistis baru pada cerita,
memungkinkan kita untuk memahami beberapa gagasan atau sikap yang menjadi
bagian dari pengalaman yang diutarakan penulis melalui indera.
Ironi
Bila dimanfaatkan dengan benar,
ironi dapat memeperkaya cerita seperti menjadikannnya menarik, menghadirkan
efek-efek tertentu, humor atau pathos,
memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang,
dan menguatkan tema.
BAB
III
Cerpen
Perbedaan
paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Lazimnya,
cerpen terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan halaman.
Novel tersingkat terdiri atas tiga puluh ribu kata atau ratusan halaman. Jenis
yeng terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (nouvelle atau novelette),
dan novel pendek.
Cerita
pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit
ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya
satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen, pengarang menciptakan
karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara
bersamaan.
BAB
IV
Novel
Novel
mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan sebagai peristiwa
ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Ciri khas cerpen
terletak pada kekuatannya yang mampu menghadirkan sesuatu lebih dari yang ia
ceritakan, sedangkan ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan
satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Istilah
‘episode’ dalam fiksi hampir mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergesaran dari
satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau
karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah ‘naratif’ atau
‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau
‘dramatis’. Episode ‘naratif’ bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi.
Dalam episode ini, adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian
besar melalui perantara dialog.
BAB
V
Tipe-Tipe Fiksi
Novel,
cerpen, dan novella merupakan
kategorisasi formal. Kategori-kategori sampingan tersebut dapat ditentukan oleh
tekhnik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau
kombinasi semuanya. Ciri khas sebuah detektif ada pada kecenderungan untuk
mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis.
Oleh
karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung
mengabaikan emosi dan moralitas. Cara-cara pandang terhadap pengalaman ke dalam
beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat.
Romantisisme Dan Realisme
Dua kata
ini memiliki arti ambigu. Sebabnya, dua kata ini dapat merujuk pada dua hal
yang sama sekali berbeda yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan
filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar yang sudah lewat, tempat yang
tidak biasa atau di luar jangkauan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya
tidak jelas.
Fiksi Gotik
Fiksi
gotik lebih sering disebut ‘cerita horor’. Pengarang gotik paling terkenal
adalah Edgen Allan Poe. Banyak mengeksplorasi kematian, kebusukan, benda atau
keadaan menjijikan, dan segala yang supranatural. Sarana-sarana yang paling
sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah hantu,
suara-suara aneh, pintu rahasia dan adegan tengah malam.
Naturalisme
Salah satu
bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Seorang
naturalis adalah seorang pengarang objektif, seorang yang tidak akan membiarkan
moralitas mendiktenya.
Individu-individu
yang hidup dengan tiga karakter negatif tersebut memang deterministik, karena
menjadi ekses dari keganasan lingkungan.
Novel Dedaktis
Novel dedaktis percaya bahwa
perilaku sosial atau pekerti dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran
bagi setiap karakternya. Novel dedaktis memperlakukan kepercayaan selayaknya
seni atau permainan dengan teknik tinggi. Setiap karakter menelaah integritas,
kedalaman jiwa, simpati, kecerdasan, kemunafikan, kedangkalan, ketidakacuhan,
dan ketololan karakter lain lewat percakapan yang sedang berlangsung.
Alegori Dan Simbolisme
Alegori
berbeda sifat dengan realisme karena acap
mengetangahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori
adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moraliotas, atau topik-topik
lain yang didramatisasi sedemikan rupa.
Namun
masih ada karakter fundamental yang membedakan alegori dengan simbolisme. Dalam
alegori selalu terdapat hubungan satu lawan satu antara tokoh-tokoh tertentu
dengan maknanya. Sedangkan dengan simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu
bermakna ambigu dan kompleks.
Satir
Satir adalah karikatur versi sastra
karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos
absurditas manusia atau institusi, membongkar kesenjangan antara topeng dan
wajah sebenarnya. Satir juga dapat bermaksud serius sehingga sering disebut ‘vitriolist’, ‘pahit’, atau ‘sardonis’.
BAB
VI
Menulis Makalah Kritik Sastra
Bila ingin
menulis tentang beberapa karya maka sebaiknya Anda berkonsultasi pada dosen
penanggung jawab. Oleh karena berbentuk makalah maka Anda harus mengerucutkan
topik bahasan yang anda pilih. Bentuk tugas semacam ini biasanya akan
mengesampingkan tiga hal, yaitu (1) apresiasi, (2) ulasan, dan (3) makalah
perpustakaan.
Alur
Huckleberry
Finn beralur episodis dan setiap episodis, dan setiap episode di dalam alur
semacam ini biasanya lebih rekat satu sama lain. Ini dibuktikan bahwa beberapa
episode terkait erat dengan kematian. Huck yang memalsukan kematiannya sendiri,
‘rumah duka’ yang mengapung di sungai, kematian Buck Grangerford yang dijauhi
orang-orang, puisi Emmaline Grangerford, Boggs yang tertembak, dan kremasi
jenazah Peter Wilks.
Latar
Anda dapat
menemukan sebuah topik hanya dengan merunut setiap kalimat yang menggambarkan
Sungai Mississippi. Selain itu, latar daratan novel ini juga sangat beragam dan
menarik. Dalam novel ini sungai tampak cenderung menghindari ancaman dari
daratan.
Karakter
Anda dapat mengamati ciri-ciri
seorang karakter, perkembangan, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain,
atau sikap-sikap tersebut pada mereka. Semua krieria diatas dapat dengan mudah
diterapkan pada Huck. Terkait hal ini, hubungan Huck dengan Jim dan Tom juga
cukup menarik.
Tema
Huckleberry Finn mengkritik agama, sastra,
perbudakan, kemunafikan sosial, kehormatan, pendidikan, kekejaman,
persaudaraan, kehormatan, dan topik-topik lain denga cara langsung maupun
satir. Setiap subjek (apalagi yang termaktub di lebih dari satu tempat dalam
karya bersangkutan) dapat dijadikan topik yang potensial untuk karya tulis
setidaknya untuk satu makalah pendek.
Sudut Pandang
Sudut pandang dalam Huckleberry Finn amat mudah ditentukan
karena keseluruhan novel dinarasikan oleh Huck. Sifat-sifat Huck yang mana
sajakah yang berpengaruh pada pandangannya? Apa dampak penggunaan sudut pandang
semacam ini bagi keseluruhan novel? Yang jelas pandangan Huck terhadap sesuatu
tidaklah sepenuhnya benar karena ia kerap sekali berubah pikiran.
RANGKUMAN
FIKSI
DALAM
BUKU “ROBERT STANTON”
Makalah
Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Fiksi
Dosen Pengampu : Bpk. Ali
Imron
Di susun oleh :
Lukman
Aris Widodo (A310110120)
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA dan DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
Resuman Fiksi
BAB
I
Fiksi Selayang Pandang.
Buku ini dimaksudkan untuk membantu
Anda mempelajari dan memahami fiksi serius. Tampaknya aneh mendengar pernyataan
bahwa setiap orang harus belajar membaca cerita. Yang jelas, seseorang
pengarang tidak dapat terlalu berharap pembaca karyanya adalah orang yang
terlatih secara khusus, bukankah seharusnya karya-karyanya dapat bercerita
sendiri? Seharusnya demikian; kenyataannya, fiksi serius dapat dinikmati oleh
barbagai generasi karena mampu bercerita.
Meski
cerita yang dituturkan oleh fiksi serius mengandung berbagai hal yang tidak
lazim (adu banteng) atau selaras dengan sejarah (pemberontak Irlandia), fiksi
jenis ini biasanya menyodorkan fakta-fakta dan isu-isu yang relevan pada
pembaca.
Alasan
termudah dan mungkin juga terbaik; buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada
mahasiswa. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk
pada pembaca mengenai maksud dan teknik yang digunakan pengarang. Secara
teoritis, sebagaimana yang dilakukan oleh orang, pembaca dapat menemukannya
sendiri.
Alasan
ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonpsesi
gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu yang
mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang diperoleh pembaca.
Meski
demikian, pembedaan ini digunakan malah akan menjerumuskan. Jika
termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat, dapat disimpulkan
bila fiksi luas tidak dinikmati secara luas sepertihalnya fiksi populer; contoh
paling mudah Huckleberry Finn yang
populer pada kisah humor dan satir, namun masih dikategorikan fiksi serius.
Bagian ini akan membahas dua jenis
tulisan tersebut yaitu fiksi populer dan serius. Sebagian pembahasan akan
membuktikan seberapa jauh gagasan-gagasan umum seperti dicontohkan di paragraf
atas memiliki kebenarannya. Gayut dengan sifat buku ini, pembahasan akan
difokuskan bagaimana memahami fiksi serius.
Fiksi Serius Dan Pembaca
Faktanya, fiksi serius dapat memberi kenikmatan dan memang
begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan sekaligus dibuktikan oleh
banyak orang. Mereka membaca fiksi serius bukan karena sebuah keharusan,
melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya.
Sebagian
besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya
dilakukan dengan cermat dan tepat. Kenikmatan dan pemahaman atas karya sastra
diserap sedikit demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang mampu sepenuhnya
memahami sebuah cerita bagus dengan membaca sekali saja.
Maksud
utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan membaca membayangkan
sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa
maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit, harus
diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah sekedar rangkaian kejadian-kejadian
yang sinambung.
Tema
Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau
nasehat-nasehat sebagai misal “Kejujuran adalah yang terbaik” atau “Bekerjalah
dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang
berupaya mendidik segi mooral pembaca.
Apa yang
menjadi persoalan bagi pembaca bukanlah keberadaan tema ataupun sifat-sifatnya
yang khusus. Permasalahan terletak pada kenyataan bahwa tema adalah implisit.
Pertanyaan yang kerap muncul, “Mengapa pengarang tidak mengungkapkan secara
langsung? Mengapa tema tidak dikatakan terus terang? Mengapa tema hampir selalu
tersembunyi?” Pengarang bukanlah jenis orang yang gemar bermain teka teki.
Sebaliknya dalam buku kenangan sekolah lain, akan diketahui
bahwasanya wajah-wajah yang Anda lihat sama sekali tidak memunculkan apa pun,
kosong, dan tanpa makna. Sebagian yang Anda lihat adalah wujud foto-foto itu
sendiri, sedangkan sebagian lain adalah makna dari foto tersebut yang masih
melekat pada ingatan.
Sarana-Sarana Sastra
Pengarang meleburkan fakta dan tema
dengan bantuan sarana-saran sastra ‘separti konflik, sudut pandang, simbolisme,
ironi, dan sebagainya. Dalam bagian selanjutnya akan diterangkan perihal
sarana-sarana tersebut. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai
semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita. Detail-detail
tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema.
Dapat
di[eringkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan
melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami
dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap
bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain.
Bila film
Barat merupakan film petualangan, mengapa harus ada ‘orang baik’ dan ‘orang
jahat’? Mengapa keduanya tidak mengambil wujud dua koboi jelata saja, tanpa
perlu mempertentangkan moralitas? Mengapa yang baik selalu menang? Jawabannya,
di dunia Barat ada hukum alam bahwa kebaikan selalu berlawanan dengan kejahatan
dan kebaikanlah yang selalu memenangkan konflik tersebut.
Simpulannya,
film Barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film
Barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Detail-detail yang dipilih
bermaksud menekankan moralitas yang kontransif; sang hero tidak pernah berbuat
jahat dan si penjahat sebaliknya.
BAB
II
Membaca Fiksi
Sebenarnya, mereduksi sastra dan
seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistirsi dan
menggampankan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat flesibel, subtil,
dan majemuk. Setiap karya yang berhasil merupakan satu individu unik kerena
sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa ‘menguraikan’ sebuah organisme
secara menyeluruh.
Intinya,
bagaimanapun gaya seorang pengarang fiksi serius, ia tidak akan menyia-nyiakan
materi dalam novel-novelnya. Setiap detail dalam sebuah cerita berpengaruh pada
keseluruhan seperti halnya setiap not pada komposisi musik Johann Sabastian
Bach dan setiap gestur pada tari balet Margot Fonteyn.
Fakta-Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan
fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian
imajinatif dari sebuah cerita. Jika direnungkan menjadi satu, semua elemen ini
dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual cerita’.
Oleh
karena detail-detail cerita mengendung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca
handaknya juga ambivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita,
membenamkan diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi
pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi
tersebut dan bertanya pada diri sendiri, mengapa pengarang memilih
detail-detail tertentu saja dan menyusunnya sedemikian rupa? Jika dua
pendekatan ini dilakukan dengan benar, pembaca akan tahu bahwa detail-detail
dalam cerita ‘masuk akal’ dan ‘signifikan’.
Alur
Secara umum, alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya
terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan
atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan
karena akan berpangaruh pada keseluruhan karya.
Subplot
atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian dari
alur utama, namun memiliki ciri khas tersendiri. Suatu subplot bisa memiliki
bentuk yang paralel dengan subplot lain. Salah satu bentuk subplot yang lazim
dikenal adalah ‘naratif bingkai’.
Alur
merupakan tulang punggung. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan
dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis.
Dua elemen
dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi
setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir
melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan
lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik
utama’ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya.
Latar
Latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu
tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau stu periode sejarah. Meski tidak
langsung merangkum sang karekter utama, latar dapat merangkum orang yang
menjadi dekor dalam cerita sebagai misal; masyarakat Puritan dalam The Scarlet Letter.
Tema
Tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia;
seauatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang
menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti
cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia
terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua.
Fungsi
tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari
pandangan. Yang jelas, istilah tema amat sulit didefinisikan. Tema dapat
diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‘maksud’ sebuah
gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjalaninya.
Sarana – Sarana Sastra
Sarana- sarana sastra dapat
diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar
tercapai pola-pola yang bermakna. Penggambaran berlebihan tidak akan banyak
bermanfaat sehingga pengarang lebih memilih menyatakan fakta apa adanya. Saran
– sarana sastra berbeda dengan sarana – saran doats karena pengarang dituntut
untuk memenuhi kriteria nalar. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang
pengarang biasanya berpatokan pada dua tedensi dasar manusia. Pertama, kenali
dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan
klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang mengaplikasikan pola-pola seperti ini, karya-karya nya akan
menjadi berstruktur. Tendensi kedua, pahami dan ingat setiap ‘asosiasi’
diantaea benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi
kita teribat ddidalamnya; terutama ketika emosi kita turut terlibat didslamnya;
seorang bicah akan merasa takut pada api bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat
ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone, dan gaya, dan
sudut pandang. Sarana-sarana paling siknifikan berbagai sarana yang kita kenal
adalah karater utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘
kesatuan organis’ cerita
Judul
Kita mengira bahwa judul selalu
relevan terhadap karya yang diampunnya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter
utama atau satu latar tertentu seperti dalam The Great Gatsby atau Wuthering Heights. Akan tetapi, penting bagi
kita untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang
tidak menonjol. Judul semacam ini acap ( terutama sekali dalam cerpen) menjadi
petunjuk makna cerita bersangkutan.
Sebuah
judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. The Undefeated Hemingway
bercerita tentang seorang matador tua. Disisi lain, dia terkalahkan (bahasa
inggris: de feated) karena gagal menjalani profesinya.
Sudut Pandang
Dalam Gulliver’s Travel, meski dapat berbagai pengalaman dengan gulliver,
kita tetap tahu bahwa ia adalah seorang yang gampang tertipu dan naif.
Pendeknya , ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda
dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau diluar satu karakter,
menyatu atau terpisah secara emosional.
Padat
sudut pandang orang pertama-bukan utama (sampingan), sang narator dapat
menggambarkan si karakter utama secara langsung sekaligus mengomentari
perilakunya. Pengarang dapat menciptakan
berbagai ketegangan dan kejutan dengan cara menyembunyikan pemikiran si tokoh
utama.
Sampai
disini dapat disimpulkan bahwa setiap sudut pandang memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pilihan yang diambil pengarang harus selalu bergantung pada problem
yang mengemuka dalam ceritanya. Sudut pandang yang dipilih terkadang merupakan
campuran dari beberapa sudut pandang.
Simbolisme
Gagasan dari emosi terkadang nampak
nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat
dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal
tersebut agar tampak nyata adalah melalui simbol; simbol berwujud detail-detail
konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi
dalam pikiran pembaca.
Pengarang juga
dapat menonjolkan satu detail dengan menggambarkannya secara berlebihan
ketimbang keperluan faktualnya; membuatnya tampak tidak bisa tanpa satu alasan
pun, menjadikannya judul, dan sebagainya.
Manfaat
simbol yang paling besar adalah memberi realistis baru pada cerita,
memungkinkan kita untuk memahami beberapa gagasan atau sikap yang menjadi
bagian dari pengalaman yang diutarakan penulis melalui indera.
Ironi
Bila dimanfaatkan dengan benar,
ironi dapat memeperkaya cerita seperti menjadikannnya menarik, menghadirkan
efek-efek tertentu, humor atau pathos,
memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang,
dan menguatkan tema.
BAB
III
Cerpen
Perbedaan
paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Lazimnya,
cerpen terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan halaman.
Novel tersingkat terdiri atas tiga puluh ribu kata atau ratusan halaman. Jenis
yeng terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (nouvelle atau novelette),
dan novel pendek.
Cerita
pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit
ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya
satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen, pengarang menciptakan
karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara
bersamaan.
BAB
IV
Novel
Novel
mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan sebagai peristiwa
ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Ciri khas cerpen
terletak pada kekuatannya yang mampu menghadirkan sesuatu lebih dari yang ia
ceritakan, sedangkan ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan
satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Istilah
‘episode’ dalam fiksi hampir mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergesaran dari
satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau
karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah ‘naratif’ atau
‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau
‘dramatis’. Episode ‘naratif’ bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi.
Dalam episode ini, adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian
besar melalui perantara dialog.
BAB
V
Tipe-Tipe Fiksi
Novel,
cerpen, dan novella merupakan
kategorisasi formal. Kategori-kategori sampingan tersebut dapat ditentukan oleh
tekhnik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau
kombinasi semuanya. Ciri khas sebuah detektif ada pada kecenderungan untuk
mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis.
Oleh
karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung
mengabaikan emosi dan moralitas. Cara-cara pandang terhadap pengalaman ke dalam
beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat.
Romantisisme Dan Realisme
Dua kata
ini memiliki arti ambigu. Sebabnya, dua kata ini dapat merujuk pada dua hal
yang sama sekali berbeda yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan
filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar yang sudah lewat, tempat yang
tidak biasa atau di luar jangkauan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya
tidak jelas.
Fiksi Gotik
Fiksi
gotik lebih sering disebut ‘cerita horor’. Pengarang gotik paling terkenal
adalah Edgen Allan Poe. Banyak mengeksplorasi kematian, kebusukan, benda atau
keadaan menjijikan, dan segala yang supranatural. Sarana-sarana yang paling
sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah hantu,
suara-suara aneh, pintu rahasia dan adegan tengah malam.
Naturalisme
Salah satu
bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Seorang
naturalis adalah seorang pengarang objektif, seorang yang tidak akan membiarkan
moralitas mendiktenya.
Individu-individu
yang hidup dengan tiga karakter negatif tersebut memang deterministik, karena
menjadi ekses dari keganasan lingkungan.
Novel Dedaktis
Novel dedaktis percaya bahwa
perilaku sosial atau pekerti dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran
bagi setiap karakternya. Novel dedaktis memperlakukan kepercayaan selayaknya
seni atau permainan dengan teknik tinggi. Setiap karakter menelaah integritas,
kedalaman jiwa, simpati, kecerdasan, kemunafikan, kedangkalan, ketidakacuhan,
dan ketololan karakter lain lewat percakapan yang sedang berlangsung.
Alegori Dan Simbolisme
Alegori
berbeda sifat dengan realisme karena acap
mengetangahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori
adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moraliotas, atau topik-topik
lain yang didramatisasi sedemikan rupa.
Namun
masih ada karakter fundamental yang membedakan alegori dengan simbolisme. Dalam
alegori selalu terdapat hubungan satu lawan satu antara tokoh-tokoh tertentu
dengan maknanya. Sedangkan dengan simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu
bermakna ambigu dan kompleks.
Satir
Satir adalah karikatur versi sastra
karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos
absurditas manusia atau institusi, membongkar kesenjangan antara topeng dan
wajah sebenarnya. Satir juga dapat bermaksud serius sehingga sering disebut ‘vitriolist’, ‘pahit’, atau ‘sardonis’.
BAB
VI
Menulis Makalah Kritik Sastra
Bila ingin
menulis tentang beberapa karya maka sebaiknya Anda berkonsultasi pada dosen
penanggung jawab. Oleh karena berbentuk makalah maka Anda harus mengerucutkan
topik bahasan yang anda pilih. Bentuk tugas semacam ini biasanya akan
mengesampingkan tiga hal, yaitu (1) apresiasi, (2) ulasan, dan (3) makalah
perpustakaan.
Alur
Huckleberry
Finn beralur episodis dan setiap episodis, dan setiap episode di dalam alur
semacam ini biasanya lebih rekat satu sama lain. Ini dibuktikan bahwa beberapa
episode terkait erat dengan kematian. Huck yang memalsukan kematiannya sendiri,
‘rumah duka’ yang mengapung di sungai, kematian Buck Grangerford yang dijauhi
orang-orang, puisi Emmaline Grangerford, Boggs yang tertembak, dan kremasi
jenazah Peter Wilks.
Latar
Anda dapat
menemukan sebuah topik hanya dengan merunut setiap kalimat yang menggambarkan
Sungai Mississippi. Selain itu, latar daratan novel ini juga sangat beragam dan
menarik. Dalam novel ini sungai tampak cenderung menghindari ancaman dari
daratan.
Karakter
Anda dapat mengamati ciri-ciri
seorang karakter, perkembangan, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain,
atau sikap-sikap tersebut pada mereka. Semua krieria diatas dapat dengan mudah
diterapkan pada Huck. Terkait hal ini, hubungan Huck dengan Jim dan Tom juga
cukup menarik.
Tema
Huckleberry Finn mengkritik agama, sastra,
perbudakan, kemunafikan sosial, kehormatan, pendidikan, kekejaman,
persaudaraan, kehormatan, dan topik-topik lain denga cara langsung maupun
satir. Setiap subjek (apalagi yang termaktub di lebih dari satu tempat dalam
karya bersangkutan) dapat dijadikan topik yang potensial untuk karya tulis
setidaknya untuk satu makalah pendek.
Sudut Pandang
Sudut pandang dalam Huckleberry Finn amat mudah ditentukan
karena keseluruhan novel dinarasikan oleh Huck. Sifat-sifat Huck yang mana
sajakah yang berpengaruh pada pandangannya? Apa dampak penggunaan sudut pandang
semacam ini bagi keseluruhan novel? Yang jelas pandangan Huck terhadap sesuatu
tidaklah sepenuhnya benar karena ia kerap sekali berubah pikiran.
RANGKUMAN
FIKSI
DALAM
BUKU “ROBERT STANTON”
Makalah
Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Fiksi
Dosen Pengampu : Bpk. Ali
Imron
Di susun oleh :
Lukman
Aris Widodo (A310110120)
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA dan DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
Langganan:
Postingan (Atom)