Minggu, 10 Maret 2013

Resuman Fiksi



BAB I
Fiksi Selayang Pandang.
            Buku ini dimaksudkan untuk membantu Anda mempelajari dan memahami fiksi serius. Tampaknya aneh mendengar pernyataan bahwa setiap orang harus belajar membaca cerita. Yang jelas, seseorang pengarang tidak dapat terlalu berharap pembaca karyanya adalah orang yang terlatih secara khusus, bukankah seharusnya karya-karyanya dapat bercerita sendiri? Seharusnya demikian; kenyataannya, fiksi serius dapat dinikmati oleh barbagai generasi karena mampu bercerita.
Meski cerita yang dituturkan oleh fiksi serius mengandung berbagai hal yang tidak lazim (adu banteng) atau selaras dengan sejarah (pemberontak Irlandia), fiksi jenis ini biasanya menyodorkan fakta-fakta dan isu-isu yang relevan pada pembaca.
Alasan termudah dan mungkin juga terbaik; buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada mahasiswa. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk pada pembaca mengenai maksud dan teknik yang digunakan pengarang. Secara teoritis, sebagaimana yang dilakukan oleh orang, pembaca dapat menemukannya sendiri.
Alasan ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonpsesi gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu yang mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang diperoleh pembaca.
Meski demikian, pembedaan ini digunakan malah akan menjerumuskan. Jika termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat, dapat disimpulkan bila fiksi luas tidak dinikmati secara luas sepertihalnya fiksi populer; contoh paling mudah Huckleberry Finn yang populer pada kisah humor dan satir, namun masih dikategorikan fiksi serius.
            Bagian ini akan membahas dua jenis tulisan tersebut yaitu fiksi populer dan serius. Sebagian pembahasan akan membuktikan seberapa jauh gagasan-gagasan umum seperti dicontohkan di paragraf atas memiliki kebenarannya. Gayut dengan sifat buku ini, pembahasan akan difokuskan bagaimana memahami fiksi serius.

Fiksi Serius Dan Pembaca
Faktanya, fiksi serius dapat memberi kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan sekaligus dibuktikan oleh banyak orang. Mereka membaca fiksi serius bukan karena sebuah keharusan, melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya.
Sebagian besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya dilakukan dengan cermat dan tepat. Kenikmatan dan pemahaman atas karya sastra diserap sedikit demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang mampu sepenuhnya memahami sebuah cerita bagus dengan membaca sekali saja.
Maksud utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan membaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah sekedar rangkaian kejadian-kejadian yang sinambung.
Tema
Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau nasehat-nasehat sebagai misal “Kejujuran adalah yang terbaik” atau “Bekerjalah dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang berupaya mendidik segi mooral pembaca.
Apa yang menjadi persoalan bagi pembaca bukanlah keberadaan tema ataupun sifat-sifatnya yang khusus. Permasalahan terletak pada kenyataan bahwa tema adalah implisit. Pertanyaan yang kerap muncul, “Mengapa pengarang tidak mengungkapkan secara langsung? Mengapa tema tidak dikatakan terus terang? Mengapa tema hampir selalu tersembunyi?” Pengarang bukanlah jenis orang yang gemar bermain teka teki.
Sebaliknya dalam buku kenangan sekolah lain, akan diketahui bahwasanya wajah-wajah yang Anda lihat sama sekali tidak memunculkan apa pun, kosong, dan tanpa makna. Sebagian yang Anda lihat adalah wujud foto-foto itu sendiri, sedangkan sebagian lain adalah makna dari foto tersebut yang masih melekat pada ingatan.
Sarana-Sarana Sastra
            Pengarang meleburkan fakta dan tema dengan bantuan sarana-saran sastra ‘separti konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya. Dalam bagian selanjutnya akan diterangkan perihal sarana-sarana tersebut. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita. Detail-detail tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema.
Dapat di[eringkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain.
Bila film Barat merupakan film petualangan, mengapa harus ada ‘orang baik’ dan ‘orang jahat’? Mengapa keduanya tidak mengambil wujud dua koboi jelata saja, tanpa perlu mempertentangkan moralitas? Mengapa yang baik selalu menang? Jawabannya, di dunia Barat ada hukum alam bahwa kebaikan selalu berlawanan dengan kejahatan dan kebaikanlah yang selalu memenangkan konflik tersebut.
Simpulannya, film Barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film Barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Detail-detail yang dipilih bermaksud menekankan moralitas yang kontransif; sang hero tidak pernah berbuat jahat dan si penjahat sebaliknya.
























BAB II
Membaca Fiksi
            Sebenarnya, mereduksi sastra dan seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistirsi dan menggampankan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat flesibel, subtil, dan majemuk. Setiap karya yang berhasil merupakan satu individu unik kerena sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa ‘menguraikan’ sebuah organisme secara menyeluruh.
Intinya, bagaimanapun gaya seorang pengarang fiksi serius, ia tidak akan menyia-nyiakan materi dalam novel-novelnya. Setiap detail dalam sebuah cerita berpengaruh pada keseluruhan seperti halnya setiap not pada komposisi musik Johann Sabastian Bach dan setiap gestur pada tari balet Margot Fonteyn.
Fakta-Fakta Cerita
            Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika direnungkan menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual cerita’.
Oleh karena detail-detail cerita mengendung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca handaknya juga ambivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita, membenamkan diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi tersebut dan bertanya pada diri sendiri, mengapa pengarang memilih detail-detail tertentu saja dan menyusunnya sedemikian rupa? Jika dua pendekatan ini dilakukan dengan benar, pembaca akan tahu bahwa detail-detail dalam cerita ‘masuk akal’ dan ‘signifikan’.
Alur
            Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa  kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpangaruh pada keseluruhan karya.
Subplot atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian dari alur utama, namun memiliki ciri khas tersendiri. Suatu subplot bisa memiliki bentuk yang paralel dengan subplot lain. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal adalah ‘naratif bingkai’.
Alur merupakan tulang punggung. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya.
Latar
            Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau stu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karekter utama, latar dapat merangkum orang yang menjadi dekor dalam cerita sebagai misal; masyarakat Puritan dalam The Scarlet Letter.
Tema
            Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; seauatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua.
Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari pandangan. Yang jelas, istilah tema amat sulit didefinisikan. Tema dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjalaninya.
Sarana – Sarana Sastra
            Sarana- sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Penggambaran berlebihan tidak akan banyak bermanfaat sehingga pengarang lebih memilih menyatakan fakta apa adanya. Saran – sarana sastra berbeda dengan sarana – saran doats karena pengarang dituntut untuk memenuhi kriteria nalar. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang pengarang biasanya berpatokan pada dua tedensi dasar manusia. Pertama, kenali dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang mengaplikasikan  pola-pola seperti ini, karya-karya nya akan menjadi berstruktur. Tendensi kedua, pahami dan ingat setiap ‘asosiasi’ diantaea benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi kita teribat ddidalamnya; terutama ketika emosi kita turut terlibat didslamnya; seorang bicah akan merasa takut pada api bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat            ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone, dan gaya, dan sudut pandang. Sarana-sarana paling siknifikan berbagai sarana yang kita kenal adalah karater utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘ kesatuan organis’ cerita
Judul
            Kita mengira bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunnya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu seperti dalam The Great Gatsby atau Wuthering Heights. Akan tetapi, penting bagi kita untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap ( terutama sekali dalam cerpen) menjadi petunjuk makna cerita bersangkutan.
Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. The Undefeated Hemingway bercerita tentang seorang matador tua. Disisi lain, dia terkalahkan (bahasa inggris: de feated) karena gagal menjalani profesinya.
Sudut  Pandang
            Dalam Gulliver’s Travel, meski dapat berbagai pengalaman dengan gulliver, kita tetap tahu bahwa ia adalah seorang yang gampang tertipu dan naif. Pendeknya , ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau diluar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional.
Padat sudut pandang orang pertama-bukan utama (sampingan), sang narator dapat menggambarkan si karakter utama secara langsung sekaligus mengomentari perilakunya. Pengarang dapat  menciptakan berbagai ketegangan dan kejutan dengan cara menyembunyikan pemikiran si tokoh utama.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa setiap sudut pandang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan yang diambil pengarang harus selalu bergantung pada problem yang mengemuka dalam ceritanya. Sudut pandang yang dipilih terkadang merupakan campuran dari beberapa sudut pandang.
Simbolisme
            Gagasan dari emosi terkadang nampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui simbol; simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca.
Pengarang juga dapat menonjolkan satu detail dengan menggambarkannya secara berlebihan ketimbang keperluan faktualnya; membuatnya tampak tidak bisa tanpa satu alasan pun, menjadikannya judul, dan sebagainya.
Manfaat simbol yang paling besar adalah memberi realistis baru pada cerita, memungkinkan kita untuk memahami beberapa gagasan atau sikap yang menjadi bagian dari pengalaman yang diutarakan penulis melalui indera.

Ironi
            Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memeperkaya cerita seperti menjadikannnya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema.
BAB III
Cerpen
            Perbedaan paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Lazimnya, cerpen terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan halaman. Novel tersingkat terdiri atas tiga puluh ribu kata atau ratusan halaman. Jenis yeng terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (nouvelle atau novelette), dan novel pendek.
Cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan.

BAB IV

Novel
            Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan sebagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Ciri khas cerpen terletak pada kekuatannya yang mampu menghadirkan sesuatu lebih dari yang ia ceritakan, sedangkan ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Istilah ‘episode’ dalam fiksi hampir mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergesaran dari satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah ‘naratif’ atau ‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau ‘dramatis’. Episode ‘naratif’ bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi. Dalam episode ini, adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian besar melalui perantara dialog.




BAB V

Tipe-Tipe Fiksi
            Novel, cerpen, dan novella merupakan kategorisasi formal. Kategori-kategori sampingan tersebut dapat ditentukan oleh tekhnik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau kombinasi semuanya. Ciri khas sebuah detektif ada pada kecenderungan untuk mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis.
Oleh karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung mengabaikan emosi dan moralitas. Cara-cara pandang terhadap pengalaman ke dalam beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat.
Romantisisme Dan Realisme
            Dua kata ini memiliki arti ambigu. Sebabnya, dua kata ini dapat merujuk pada dua hal yang sama sekali berbeda yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar yang sudah lewat, tempat yang tidak biasa atau di luar jangkauan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya tidak jelas.
Fiksi Gotik
            Fiksi gotik lebih sering disebut ‘cerita horor’. Pengarang gotik paling terkenal adalah Edgen Allan Poe. Banyak mengeksplorasi kematian, kebusukan, benda atau keadaan menjijikan, dan segala yang supranatural. Sarana-sarana yang paling sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah hantu, suara-suara aneh, pintu rahasia dan adegan tengah malam.

Naturalisme
            Salah satu bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Seorang naturalis adalah seorang pengarang objektif, seorang yang tidak akan membiarkan moralitas mendiktenya.
Individu-individu yang hidup dengan tiga karakter negatif tersebut memang deterministik, karena menjadi ekses dari keganasan lingkungan.
Novel Dedaktis
            Novel dedaktis percaya bahwa perilaku sosial atau pekerti dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran bagi setiap karakternya. Novel dedaktis memperlakukan kepercayaan selayaknya seni atau permainan dengan teknik tinggi. Setiap karakter menelaah integritas, kedalaman jiwa, simpati, kecerdasan, kemunafikan, kedangkalan, ketidakacuhan, dan ketololan karakter lain lewat percakapan yang sedang berlangsung.
Alegori Dan Simbolisme
            Alegori berbeda sifat dengan realisme karena acap mengetangahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moraliotas, atau topik-topik lain yang didramatisasi sedemikan rupa.
Namun masih ada karakter fundamental yang membedakan alegori dengan simbolisme. Dalam alegori selalu terdapat hubungan satu lawan satu antara tokoh-tokoh tertentu dengan maknanya. Sedangkan dengan simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu bermakna ambigu dan kompleks.
Satir
            Satir adalah karikatur versi sastra karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos absurditas manusia atau institusi, membongkar kesenjangan antara topeng dan wajah sebenarnya. Satir juga dapat bermaksud serius sehingga sering disebut ‘vitriolist’, ‘pahit’, atau ‘sardonis’.

BAB VI

Menulis Makalah Kritik Sastra
            Bila ingin menulis tentang beberapa karya maka sebaiknya Anda berkonsultasi pada dosen penanggung jawab. Oleh karena berbentuk makalah maka Anda harus mengerucutkan topik bahasan yang anda pilih. Bentuk tugas semacam ini biasanya akan mengesampingkan tiga hal, yaitu (1) apresiasi, (2) ulasan, dan (3) makalah perpustakaan.
Alur
            Huckleberry Finn beralur episodis dan setiap episodis, dan setiap episode di dalam alur semacam ini biasanya lebih rekat satu sama lain. Ini dibuktikan bahwa beberapa episode terkait erat dengan kematian. Huck yang memalsukan kematiannya sendiri, ‘rumah duka’ yang mengapung di sungai, kematian Buck Grangerford yang dijauhi orang-orang, puisi Emmaline Grangerford, Boggs yang tertembak, dan kremasi jenazah Peter Wilks.
Latar
            Anda dapat menemukan sebuah topik hanya dengan merunut setiap kalimat yang menggambarkan Sungai Mississippi. Selain itu, latar daratan novel ini juga sangat beragam dan menarik. Dalam novel ini sungai tampak cenderung menghindari ancaman dari daratan.
Karakter
            Anda dapat mengamati ciri-ciri seorang karakter, perkembangan, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain, atau sikap-sikap tersebut pada mereka. Semua krieria diatas dapat dengan mudah diterapkan pada Huck. Terkait hal ini, hubungan Huck dengan Jim dan Tom juga cukup menarik.
Tema
            Huckleberry Finn mengkritik agama, sastra, perbudakan, kemunafikan sosial, kehormatan, pendidikan, kekejaman, persaudaraan, kehormatan, dan topik-topik lain denga cara langsung maupun satir. Setiap subjek (apalagi yang termaktub di lebih dari satu tempat dalam karya bersangkutan) dapat dijadikan topik yang potensial untuk karya tulis setidaknya untuk satu makalah pendek.
Sudut Pandang
            Sudut pandang dalam Huckleberry Finn amat mudah ditentukan karena keseluruhan novel dinarasikan oleh Huck. Sifat-sifat Huck yang mana sajakah yang berpengaruh pada pandangannya? Apa dampak penggunaan sudut pandang semacam ini bagi keseluruhan novel? Yang jelas pandangan Huck terhadap sesuatu tidaklah sepenuhnya benar karena ia kerap sekali berubah pikiran.
















RANGKUMAN FIKSI
DALAM BUKU “ROBERT STANTON”

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Fiksi
Dosen Pengampu : Bpk. Ali Imron
Description: D:\logo-ums1.jpg

Di susun oleh :

Lukman Aris Widodo    (A310110120)




PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA dan DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

Resuman Fiksi



BAB I
Fiksi Selayang Pandang.
            Buku ini dimaksudkan untuk membantu Anda mempelajari dan memahami fiksi serius. Tampaknya aneh mendengar pernyataan bahwa setiap orang harus belajar membaca cerita. Yang jelas, seseorang pengarang tidak dapat terlalu berharap pembaca karyanya adalah orang yang terlatih secara khusus, bukankah seharusnya karya-karyanya dapat bercerita sendiri? Seharusnya demikian; kenyataannya, fiksi serius dapat dinikmati oleh barbagai generasi karena mampu bercerita.
Meski cerita yang dituturkan oleh fiksi serius mengandung berbagai hal yang tidak lazim (adu banteng) atau selaras dengan sejarah (pemberontak Irlandia), fiksi jenis ini biasanya menyodorkan fakta-fakta dan isu-isu yang relevan pada pembaca.
Alasan termudah dan mungkin juga terbaik; buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada mahasiswa. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk pada pembaca mengenai maksud dan teknik yang digunakan pengarang. Secara teoritis, sebagaimana yang dilakukan oleh orang, pembaca dapat menemukannya sendiri.
Alasan ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonpsesi gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu yang mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang diperoleh pembaca.
Meski demikian, pembedaan ini digunakan malah akan menjerumuskan. Jika termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat, dapat disimpulkan bila fiksi luas tidak dinikmati secara luas sepertihalnya fiksi populer; contoh paling mudah Huckleberry Finn yang populer pada kisah humor dan satir, namun masih dikategorikan fiksi serius.
            Bagian ini akan membahas dua jenis tulisan tersebut yaitu fiksi populer dan serius. Sebagian pembahasan akan membuktikan seberapa jauh gagasan-gagasan umum seperti dicontohkan di paragraf atas memiliki kebenarannya. Gayut dengan sifat buku ini, pembahasan akan difokuskan bagaimana memahami fiksi serius.

Fiksi Serius Dan Pembaca
Faktanya, fiksi serius dapat memberi kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan sekaligus dibuktikan oleh banyak orang. Mereka membaca fiksi serius bukan karena sebuah keharusan, melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya.
Sebagian besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya dilakukan dengan cermat dan tepat. Kenikmatan dan pemahaman atas karya sastra diserap sedikit demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang mampu sepenuhnya memahami sebuah cerita bagus dengan membaca sekali saja.
Maksud utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan membaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah sekedar rangkaian kejadian-kejadian yang sinambung.
Tema
Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau nasehat-nasehat sebagai misal “Kejujuran adalah yang terbaik” atau “Bekerjalah dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang berupaya mendidik segi mooral pembaca.
Apa yang menjadi persoalan bagi pembaca bukanlah keberadaan tema ataupun sifat-sifatnya yang khusus. Permasalahan terletak pada kenyataan bahwa tema adalah implisit. Pertanyaan yang kerap muncul, “Mengapa pengarang tidak mengungkapkan secara langsung? Mengapa tema tidak dikatakan terus terang? Mengapa tema hampir selalu tersembunyi?” Pengarang bukanlah jenis orang yang gemar bermain teka teki.
Sebaliknya dalam buku kenangan sekolah lain, akan diketahui bahwasanya wajah-wajah yang Anda lihat sama sekali tidak memunculkan apa pun, kosong, dan tanpa makna. Sebagian yang Anda lihat adalah wujud foto-foto itu sendiri, sedangkan sebagian lain adalah makna dari foto tersebut yang masih melekat pada ingatan.
Sarana-Sarana Sastra
            Pengarang meleburkan fakta dan tema dengan bantuan sarana-saran sastra ‘separti konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya. Dalam bagian selanjutnya akan diterangkan perihal sarana-sarana tersebut. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita. Detail-detail tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema.
Dapat di[eringkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain.
Bila film Barat merupakan film petualangan, mengapa harus ada ‘orang baik’ dan ‘orang jahat’? Mengapa keduanya tidak mengambil wujud dua koboi jelata saja, tanpa perlu mempertentangkan moralitas? Mengapa yang baik selalu menang? Jawabannya, di dunia Barat ada hukum alam bahwa kebaikan selalu berlawanan dengan kejahatan dan kebaikanlah yang selalu memenangkan konflik tersebut.
Simpulannya, film Barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film Barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Detail-detail yang dipilih bermaksud menekankan moralitas yang kontransif; sang hero tidak pernah berbuat jahat dan si penjahat sebaliknya.
























BAB II
Membaca Fiksi
            Sebenarnya, mereduksi sastra dan seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistirsi dan menggampankan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat flesibel, subtil, dan majemuk. Setiap karya yang berhasil merupakan satu individu unik kerena sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa ‘menguraikan’ sebuah organisme secara menyeluruh.
Intinya, bagaimanapun gaya seorang pengarang fiksi serius, ia tidak akan menyia-nyiakan materi dalam novel-novelnya. Setiap detail dalam sebuah cerita berpengaruh pada keseluruhan seperti halnya setiap not pada komposisi musik Johann Sabastian Bach dan setiap gestur pada tari balet Margot Fonteyn.
Fakta-Fakta Cerita
            Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika direnungkan menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual cerita’.
Oleh karena detail-detail cerita mengendung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca handaknya juga ambivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita, membenamkan diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi tersebut dan bertanya pada diri sendiri, mengapa pengarang memilih detail-detail tertentu saja dan menyusunnya sedemikian rupa? Jika dua pendekatan ini dilakukan dengan benar, pembaca akan tahu bahwa detail-detail dalam cerita ‘masuk akal’ dan ‘signifikan’.
Alur
            Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa  kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpangaruh pada keseluruhan karya.
Subplot atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian dari alur utama, namun memiliki ciri khas tersendiri. Suatu subplot bisa memiliki bentuk yang paralel dengan subplot lain. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal adalah ‘naratif bingkai’.
Alur merupakan tulang punggung. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya.
Latar
            Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau stu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karekter utama, latar dapat merangkum orang yang menjadi dekor dalam cerita sebagai misal; masyarakat Puritan dalam The Scarlet Letter.
Tema
            Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; seauatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua.
Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari pandangan. Yang jelas, istilah tema amat sulit didefinisikan. Tema dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjalaninya.
Sarana – Sarana Sastra
            Sarana- sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Penggambaran berlebihan tidak akan banyak bermanfaat sehingga pengarang lebih memilih menyatakan fakta apa adanya. Saran – sarana sastra berbeda dengan sarana – saran doats karena pengarang dituntut untuk memenuhi kriteria nalar. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang pengarang biasanya berpatokan pada dua tedensi dasar manusia. Pertama, kenali dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang mengaplikasikan  pola-pola seperti ini, karya-karya nya akan menjadi berstruktur. Tendensi kedua, pahami dan ingat setiap ‘asosiasi’ diantaea benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi kita teribat ddidalamnya; terutama ketika emosi kita turut terlibat didslamnya; seorang bicah akan merasa takut pada api bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat            ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone, dan gaya, dan sudut pandang. Sarana-sarana paling siknifikan berbagai sarana yang kita kenal adalah karater utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘ kesatuan organis’ cerita
Judul
            Kita mengira bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunnya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu seperti dalam The Great Gatsby atau Wuthering Heights. Akan tetapi, penting bagi kita untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap ( terutama sekali dalam cerpen) menjadi petunjuk makna cerita bersangkutan.
Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. The Undefeated Hemingway bercerita tentang seorang matador tua. Disisi lain, dia terkalahkan (bahasa inggris: de feated) karena gagal menjalani profesinya.
Sudut  Pandang
            Dalam Gulliver’s Travel, meski dapat berbagai pengalaman dengan gulliver, kita tetap tahu bahwa ia adalah seorang yang gampang tertipu dan naif. Pendeknya , ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau diluar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional.
Padat sudut pandang orang pertama-bukan utama (sampingan), sang narator dapat menggambarkan si karakter utama secara langsung sekaligus mengomentari perilakunya. Pengarang dapat  menciptakan berbagai ketegangan dan kejutan dengan cara menyembunyikan pemikiran si tokoh utama.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa setiap sudut pandang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan yang diambil pengarang harus selalu bergantung pada problem yang mengemuka dalam ceritanya. Sudut pandang yang dipilih terkadang merupakan campuran dari beberapa sudut pandang.
Simbolisme
            Gagasan dari emosi terkadang nampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui simbol; simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca.
Pengarang juga dapat menonjolkan satu detail dengan menggambarkannya secara berlebihan ketimbang keperluan faktualnya; membuatnya tampak tidak bisa tanpa satu alasan pun, menjadikannya judul, dan sebagainya.
Manfaat simbol yang paling besar adalah memberi realistis baru pada cerita, memungkinkan kita untuk memahami beberapa gagasan atau sikap yang menjadi bagian dari pengalaman yang diutarakan penulis melalui indera.

Ironi
            Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memeperkaya cerita seperti menjadikannnya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema.
BAB III
Cerpen
            Perbedaan paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Lazimnya, cerpen terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan halaman. Novel tersingkat terdiri atas tiga puluh ribu kata atau ratusan halaman. Jenis yeng terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (nouvelle atau novelette), dan novel pendek.
Cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan.

BAB IV

Novel
            Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan sebagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Ciri khas cerpen terletak pada kekuatannya yang mampu menghadirkan sesuatu lebih dari yang ia ceritakan, sedangkan ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Istilah ‘episode’ dalam fiksi hampir mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergesaran dari satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah ‘naratif’ atau ‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau ‘dramatis’. Episode ‘naratif’ bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi. Dalam episode ini, adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian besar melalui perantara dialog.




BAB V

Tipe-Tipe Fiksi
            Novel, cerpen, dan novella merupakan kategorisasi formal. Kategori-kategori sampingan tersebut dapat ditentukan oleh tekhnik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau kombinasi semuanya. Ciri khas sebuah detektif ada pada kecenderungan untuk mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis.
Oleh karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung mengabaikan emosi dan moralitas. Cara-cara pandang terhadap pengalaman ke dalam beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat.
Romantisisme Dan Realisme
            Dua kata ini memiliki arti ambigu. Sebabnya, dua kata ini dapat merujuk pada dua hal yang sama sekali berbeda yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar yang sudah lewat, tempat yang tidak biasa atau di luar jangkauan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya tidak jelas.
Fiksi Gotik
            Fiksi gotik lebih sering disebut ‘cerita horor’. Pengarang gotik paling terkenal adalah Edgen Allan Poe. Banyak mengeksplorasi kematian, kebusukan, benda atau keadaan menjijikan, dan segala yang supranatural. Sarana-sarana yang paling sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah hantu, suara-suara aneh, pintu rahasia dan adegan tengah malam.

Naturalisme
            Salah satu bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Seorang naturalis adalah seorang pengarang objektif, seorang yang tidak akan membiarkan moralitas mendiktenya.
Individu-individu yang hidup dengan tiga karakter negatif tersebut memang deterministik, karena menjadi ekses dari keganasan lingkungan.
Novel Dedaktis
            Novel dedaktis percaya bahwa perilaku sosial atau pekerti dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran bagi setiap karakternya. Novel dedaktis memperlakukan kepercayaan selayaknya seni atau permainan dengan teknik tinggi. Setiap karakter menelaah integritas, kedalaman jiwa, simpati, kecerdasan, kemunafikan, kedangkalan, ketidakacuhan, dan ketololan karakter lain lewat percakapan yang sedang berlangsung.
Alegori Dan Simbolisme
            Alegori berbeda sifat dengan realisme karena acap mengetangahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moraliotas, atau topik-topik lain yang didramatisasi sedemikan rupa.
Namun masih ada karakter fundamental yang membedakan alegori dengan simbolisme. Dalam alegori selalu terdapat hubungan satu lawan satu antara tokoh-tokoh tertentu dengan maknanya. Sedangkan dengan simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu bermakna ambigu dan kompleks.
Satir
            Satir adalah karikatur versi sastra karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos absurditas manusia atau institusi, membongkar kesenjangan antara topeng dan wajah sebenarnya. Satir juga dapat bermaksud serius sehingga sering disebut ‘vitriolist’, ‘pahit’, atau ‘sardonis’.

BAB VI

Menulis Makalah Kritik Sastra
            Bila ingin menulis tentang beberapa karya maka sebaiknya Anda berkonsultasi pada dosen penanggung jawab. Oleh karena berbentuk makalah maka Anda harus mengerucutkan topik bahasan yang anda pilih. Bentuk tugas semacam ini biasanya akan mengesampingkan tiga hal, yaitu (1) apresiasi, (2) ulasan, dan (3) makalah perpustakaan.
Alur
            Huckleberry Finn beralur episodis dan setiap episodis, dan setiap episode di dalam alur semacam ini biasanya lebih rekat satu sama lain. Ini dibuktikan bahwa beberapa episode terkait erat dengan kematian. Huck yang memalsukan kematiannya sendiri, ‘rumah duka’ yang mengapung di sungai, kematian Buck Grangerford yang dijauhi orang-orang, puisi Emmaline Grangerford, Boggs yang tertembak, dan kremasi jenazah Peter Wilks.
Latar
            Anda dapat menemukan sebuah topik hanya dengan merunut setiap kalimat yang menggambarkan Sungai Mississippi. Selain itu, latar daratan novel ini juga sangat beragam dan menarik. Dalam novel ini sungai tampak cenderung menghindari ancaman dari daratan.
Karakter
            Anda dapat mengamati ciri-ciri seorang karakter, perkembangan, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain, atau sikap-sikap tersebut pada mereka. Semua krieria diatas dapat dengan mudah diterapkan pada Huck. Terkait hal ini, hubungan Huck dengan Jim dan Tom juga cukup menarik.
Tema
            Huckleberry Finn mengkritik agama, sastra, perbudakan, kemunafikan sosial, kehormatan, pendidikan, kekejaman, persaudaraan, kehormatan, dan topik-topik lain denga cara langsung maupun satir. Setiap subjek (apalagi yang termaktub di lebih dari satu tempat dalam karya bersangkutan) dapat dijadikan topik yang potensial untuk karya tulis setidaknya untuk satu makalah pendek.
Sudut Pandang
            Sudut pandang dalam Huckleberry Finn amat mudah ditentukan karena keseluruhan novel dinarasikan oleh Huck. Sifat-sifat Huck yang mana sajakah yang berpengaruh pada pandangannya? Apa dampak penggunaan sudut pandang semacam ini bagi keseluruhan novel? Yang jelas pandangan Huck terhadap sesuatu tidaklah sepenuhnya benar karena ia kerap sekali berubah pikiran.
















RANGKUMAN FIKSI
DALAM BUKU “ROBERT STANTON”

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Fiksi
Dosen Pengampu : Bpk. Ali Imron
Description: D:\logo-ums1.jpg

Di susun oleh :

Lukman Aris Widodo    (A310110120)




PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA dan DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013